AKIBAT HUKUM JIKA SPDP TIDAK DIBERITAHUKAN DAN DISERAHKAN KEPADA PENUNTUT UMUM, TERLAPOR DAN KORBAN/PELAPOR

Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

7/15/20253 min read

Pasal 109 ayat (1) KUHAP, mengatur: "Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum". Pemberitahuan itu diwujudkan dalam bentuk penyerahan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).

Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, maka ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, harus dimaknai: "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan  kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi memaknai Pasal 109 ayat (1) KUHAP terurai pada Paragraf [3.19] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, sebagai berikut:

  • Prapenuntutan sebagai mekanisme koordinasi penyidik dan jaksa penuntut umum yang diwajibkan oleh KUHAP memang seringkali mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu. Hal tersebut jelas berimplikasi terhadap kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Hak-hak korban/pelapor dan terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal tersebut berimbas pada tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor dalam mencari kepastian hukum serta tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang ada dalam KUHAP.

  • Adanya keterlambatan mengirimkan SPDP dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan tentang dimulai penyidikan itu harus disampaikan kepada jaksa penuntut umum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut. Menurut Mahkamah, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut adalah berada dalam pengendalian penuntut umum dan dalam pemantauan terlapor dan korban/pelapor. Fakta yang terjadi selama ini dalam hal pemberian SPDP adalah kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan bahwa tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Oleh karena itu penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

Dalam penerapannya, tindakan penyidik yang tidak memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, mengakibatkan tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, tidak sah. Contohnya, dalam perkara praperadilan dengan Putusan Nomor: 09/Pid.Pra/2021/PN Kdi., Hakim dalam pertimbangannya, menyatakan:

"Menimbang, bahwa pasal 13 ayat 3 PERKAPOLRI No.6 Tahun 2019 mengatur bahwa “Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP” dan Pasal 14 ayat (1) PERKAPOLRI No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana juga mengatur bahwa “SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”, sehingga berangkat dari isi kedua pasal a-quo, maka pemberitahuan dan penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) adalah bersifat wajib dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, sehingga dengan tidak diberitahukannya dan tidak diserahkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/ pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan tersebut, maka menurut Pengadilan kalau hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban dimaksud, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) PERKAPOLRI No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana adalah tindakan yang inprosedural atau tidak sesuai dengan prosedur, tindakan yang sewenang-wenang, tidak sah dan cacat secara yuridis".

Dengan demikian, pemberitahuan dan penyerahan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, adalah bersifat wajib!

Disclaimer: artikel ini dapat berubah sewaktu-waktu bilamana terjadi perubahan peraturan perundang-undangan!